Opini  

Kegagalan di Dapur Gizi Bojonegoro 15.000 Penerima Korban Dapur Mangkrak.

BOJONEGORO ,Jawakini.com – Klaim keberhasilan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Bojonegoro, yang disebut melayani 226.044 penerima manfaat, ternyata menutupi fakta operasional yang mengkhawatirkan. Laporan Koordinator Wilayah SPPG Bojonegoro, Tommy Mandala Putra, mengungkap bahwa lima dari total 78 Dapur SPPG berada dalam status non-aktif, sebuah kegagalan logistik yang berpotensi merampas akses gizi bagi ribuan warga yang sangat membutuhkan.

Jika benar rata-rata satu dapur melayani 3.000 orang, maka penutupan lima dapur berarti sekitar 15.000 penerima manfaat potensial kini terkatung-katung korban langsung dari apa yang disebut “tahap evaluasi” yang terlambat dan terkesan reaktif.

Di Mana Pertanggungjawaban Gizi 15.000 Warga

Dapur SPPG didirikan melalui kolaborasi, termasuk dengan Kodim dan Polres Bojonegoro. Namun, kemitraan strategis ini tidak menjamin kualitas operasional. Pertanyaan mendesak yang harus dijawab pemerintah daerah adalah:

  1. Apakah ini Pemborosan Anggaran? Berapa banyak dana yang telah diinvestasikan dalam pendirian dan operasional awal lima dapur yang kini ‘dievaluasi’?
  2. Penghentian layanan menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam perencanaan atau manajemen mitra mandiri.

Mengapa Tidak Ada Rencana Kontingensi? Program vital untuk gizi seharusnya memiliki standar operasional yang ketat. Kapan dapur ini non-aktif, dan bagaimana Pemda memastikan 15.000 warga tersebut tetap mendapat asupan, ataukah beban ini dilempar ke dapur yang tersisa hingga operasional mereka ikut terganggu.

Kelompok Rentan Dipinggirkan

Data distribusi penerima manfaat menunjukkan kecerobohan yang mengkhawatirkan dalam prioritas penanganan stunting. Program ini terkesan hanya menjadi “proyek makanan sekolah” semata, dengan 91,68% penerima adalah siswa.Sebaliknya, kelompok yang secara medis paling krusial dalam pencegahan stunting dan kematian bayi,yaitu ibu hamil dan balita,hanya menerima intervensi terkecil,Ibu Hamil 3.031 Balita 10.267

Fokus yang nyaris eksklusif pada siswa yang seringkali berada dalam fase pertumbuhan yang tidak se kritis balita dan janin menimbulkan keraguan serius atas efektivitas program ini dalam mencapai tujuan perbaikan gizi secara fundamental.

Bojonegoro membutuhkan intervensi gizi yang tepat sasaran, bukan sekadar proyek masal untuk memenuhi angka statistik. Wacana tentang “wujud nyata kolaborasi” tidak berarti apa-apa jika masyarakat rentan dibiarkan lapar karena dapur gizi tidak berfungsi. Pemerintah daerah wajib segera memberikan transparansi penuh mengenai penyebab lumpuhnya lima dapur tersebut dan merombak total strategi distribusi agar Balita dan Ibu Hamil menjadi prioritas utama. Jika tidak, program ini hanya akan menjadi lapisan gula di atas masalah stunting yang semakin pahit.(BG)

Penulis: Agus Pudjianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *