TUBAN,Jawakini.com – Kisah pilu menyelimuti masa senja Wajidan (65), warga Desa Magersari, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban. Niat tulusnya merintis swadaya Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) bernama HMJ untuk mengairi lahan petani, kini justru berbalik menjadi beban hutang dan kehilangan aset. HIPPA yang ia bangun dari kocek pribadi dan pinjaman bank yang belum lunas, kini sepenuhnya diakuisisi Pemerintah Desa, menyisakan Wajidan tanpa aset, tanpa bagi hasil, bahkan tanpa air untuk sawahnya sendiri.
Wajidan memulai HIPPA HMJ bertahun-tahun lalu dengan satu tujuan mulia: memastikan petani di desanya dapat bercocok tanam secara layak. Seluruh biaya perintisan, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga operasional awal, berasal dari uang pribadinya dan sebagian besar dari pinjaman bank yang kini masih menjadi tanggungannya.
“Tujuan saya sederhana, membantu petani dan menjadi mata pencaharian. Saya bangun ini dengan jerih payah, bahkan pinjam ke bank yang sampai hari ini cicilannya masih saya bayar,” ujar Wajidan dengan suara bergetar saat ditemui, matanya tampak berkaca-kaca.
HIPPA tersebut terbukti berhasil, mengalirkan kehidupan bagi lahan pertanian warga selama bertahun-tahun.
Titik balik yang memilukan terjadi beberapa tahun kemudian ketika Pemerintah Desa memutuskan untuk mengakuisisi pengelolaan HIPPA HMJ. Wajidan menilai proses pengambilalihan tersebut tidak etis dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
Dalam rapat kesepakatan, disepakati dua klausul utama:
Kontribusi PADes: Awalnya Rp30 juta per tahun, diturunkan menjadi Rp10 juta per tahun.
Penyerahan Aset: Tertulis bahwa seluruh aset HIPPA harus diserahkan kepada desa.
Wajidan mengaku saat itu ia tidak memahami isi klausul kedua secara utuh. Faktor usia dan kurangnya ketelitian membuatnya tidak menyadari bahwa penandatanganan kesepakatan tersebut adalah “jerat” yang melepaskan seluruh haknya.
“Saya tidak tahu kalau semua aset harus diserahkan. Saya sudah tua, kurang teliti, dan merasa terjebak dengan isi perjanjian itu,” tuturnya lirih, menyiratkan penyesalan mendalam.
Ironi terbesar yang harus ditanggung Wajidan adalah nasib yang bertolak belakang.
Beban Hutang: Pinjaman bank yang digunakan sebagai modal awal perintisan HIPPA masih harus ia tanggung seorang diri.
Kehilangan Total: Usaha HIPPA, termasuk seluruh aset infrastruktur yang ia bangun, telah diambil alih sepenuhnya oleh desa.
Ia menegaskan, setelah aset berpindah tangan, dirinya sama sekali tidak menerima bagi hasil apa pun. Bahkan, dampak pahit itu merembet ke lahan miliknya sendiri.
“Jangankan bagi hasil, sawah saya saja sekarang tidak dialiri air,” katanya, menyeka mata yang basah.
Untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarganya, Wajidan kini harus banting tulang menjadi buruh tani serabutan, bekerja mencangkul dan mentraktor sawah milik orang lain. Tangan yang dahulu membangun sistem pengairan untuk ratusan hektar sawah, kini hanya mengandalkan upah harian yang tak seberapa, di tengah lilitan hutang.
Kisah Wajidan bukan hanya tentang perselisihan aset, tetapi tentang hilangnya rasa keadilan bagi seorang perintis yang berkorban untuk kepentingan masyarakat. Ia berharap, masih ada ruang bagi penyelesaian yang adil dan manusiawi.
“Saya cuma berharap, Pak Bupati Tuban ada perhatian untuk persoalan ini,” tutupnya dengan suara bergetar, berharap ada intervensi dari pimpinan daerah agar niat baiknya tidak berakhir dengan luka dan ketidakadilan.(Red) (Bersambung)












